Fakta anak muda seusia kita sampai dewasa menyukai kebudayaan bangsa lain tak bisa dibantah. Apakah kegilaan pada J-pop dan K-pop mengkhawatirkan bagi bangsa Indonesia?
Menurut Asriana, pengajar Studi Asia Timur Universitas Paramadina, Jakarta, fenomena tersebut pernah terjadi puluhan tahun lalu saat anak muda waktu itu demam musik Barat. Dia menyatakan, demam K-pop dan J-pop tak perlu dikhawatirkan karena itu fenomena biasa. "Justru yang paling perlu kita pelajari, bagaimana mereka bisa mendunia dengan bahasa dan ciri khas sendiri sampai orang di negara lain mau menerima bahkan mempelajari bahasa mereka," ujarnya.
Ia mengajak kita melihat apa yang mereka bawa di balik tari dan nyanyian sebab kedua bangsa itu tidak sekadar membawa budaya. "Dari aspek hubungan internasional, itulah kultur diplomasi. Para remaja dan orang tua harus paham dan menyadari itu. Sasaran dari diplomasi mereka memang anak muda yang mudah dibangkitkan lewat konsumerisme," urainya.
Nyatanya diplomasi kebudayaan mereka berhasil. Jepang dan Korea bisa menjual budayanya sampai muncul maniak terhadap produk mereka. Kebangkitan industri dari penjualan aneka produk tak hanya menaikkan pendapatan kedua negara, pencitraan positif juga mereka peroleh di mata negara lain. "Salah satu dampaknya, ketika ada masalah, negara mereka bisa menutupinya lewat citra budaya," kata Asriana.
Untuk menghadapi situasi tersebut kita harus memikirkan bagaimana menghadapi kebangkitan industri kedua negara sembari menjaga kecintaan dan rasa bangga remaja Indonesia kepada bangsanya sendiri. "Mencegah impor barang Jepang dan Korea jelas tidak mungkin sebab kita di era perdagangan global," katanya.
Tindakan yang jauh lebih penting adalah menjaga remaja Indonesia kuat dengan budaya sendiri supaya tak mudah terbawa arus. Asriana tahu, tak banyak remaja tertarik mempelajari budaya sendiri. "Bukan salah mereka. Itu jadi pekerjaan rumah sekolah dan kita semua. Bagaimana memodifikasi dan mendinamiskan budaya tradisional. Bagaimana menjadikan hiburan tradisional ke kontemporer agar jadi penyeimbang kesenjangan antara budaya asing dengan budaya sendiri," lanjutnya.
Memang mengayuh "kendaraan" ke sana lebih berat, tetapi hal itu harus segera mulai dikerjakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar